Sabtu, 01 Desember 2012
Cerpen - Setelah Kita Putus
“Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya dengan
kasar ketika ia mencoba membersihkan ice
cream di bibirku.
Ia terdiam, aku sibuk menyesap benda manis yang sejak
tadi menggodaku.
“Kita udah beda, gak sama, semua gak bisa diubah seperti
dulu lagi.”
Tatapannya dingin, masih memojokkanku dengan raut wajahnya
yang menyebalkan.
“Kenapa ngajak ketemuan lagi?” tanyaku panas dan sinis. “Belum
cukup sama yang kamu lakukan selama ini?”
Ia menatapku dengan tatapan memelas, aku menangkap sinyal
kesalahan di matanya. Tapi, aku tak peduli, rasa kasihanku telah habis
untuknya. Aku muak menatapnya, pertemuan ini tak akan terjadi jika dia tak
bersungut-sungut seperti di telepon tadi.
“Aku mau meminta maaf.” ucapnya lugu namun penuh rayu. “Aku
bersalah.”
“Baru sadar sekarang? Kemarin kemana aja, tolol!”
“Aku menyesal. Aku menyesal. Aku menyesal.”
“Tiga kali ada kata menyesal.”
“Aku menyesal!”
“Empat kali.”
“Kesha…” ia memanggil namaku lembut, aku tak bisa menahan
tatapanku agar tak menyorot matanya.
“Apa?”
“Maafin aku.”
“Aku udah maafin kamu bahkan sebelum kamu minta maaf.”
“Sungguh?”
Aku mengangguk tanpa pikir panjang, tak ingin percakapan
ini berlangsung dengan lamban. Aku ingin semuanya berakhir. Dan, semoga wajah
busuk ini tak lagi kutatap.
“Aku menyesal, Kesha.”
“Lima kali, cukup. Aku bosan dengar kata menyesal jika
kamu sendiri tak pernah mencoba untuk berubah.”
“Aku harus berbuat apa agar kamu benar-benar ikhlas
memaafkanku?”
“Tidak perlu, semuanya sudah lewat, aku enggak perlu
ingat-ingat yang lalu. Semuanya sampah!”
Nada bicaraku mendiamkan gerak bibirnya, ia menatapku
dengan tatapan minta dikasihani.
“Jangan menatapku dengan tatapan tolol seperti itu, rasa
kasihanku sudah habis terhadapmu, bodoh!”
Ia tak banyak bicara, hanya mendengarkan aku yang terus
saja mengumpatnya dan memakinya. Tiba-tiba perasaan kesal itu muncul lagi, bayang-bayang
pahit itu kembali berserakan. Aku tak bisa menahan diriku untuk tak memikirkan
peristiwa itu. Saat aku mendapati dirinya berciuman dengan seorang gadis di
sebuah prakiran trade center daerah
Jakarta Selatan. Aku ingin semuanya berlalu dan hilang seperti angin. Sungguh,
aku tak ingin mengingat cara dia menyakiti dan mengkhianatiku, tapi aku terlalu
lemah.
Aku tak bisa menyangkal diri, bahwa aku benar-benar
mencintainya, dia sudah menjadi bagian dari napasku selama beberapa tahun
terakhir. Aku tak mungkin bisa melupakan seseorang yang telah mengisi
hari-hariku dengan begitu cepat. Aku butuh waktu. Tapi, semua di luar
prediksiku, saat aku ingin melupakannya, dia malah hadir. Berkata maaf,
mengucap kata menyesal, dan segala kalimat yang mampu mencairkan hatiku yang
sudah sangat beku.
Aku hanya bisa membohongi diriku sendiri. Memakinya,
mencemoohnya, dan menghujaninya dengan kata-kata kasar, namun sebenarnya aku
tersiksa. Aku tak bisa menyakiti seseorang yang kucintai, aku lelah
terus-menerus menyangkal diri sendiri. Aku mencoba menyadarkan pikiranku yang
sempat goyah, kembali meletakkan akal sehatku pada kenyataanyan yang ada. Aku tak
mungkin lagi menerimanya kembali, sekeras apapun dia memintaa maaf padaku. Meskipun
dia harus meradang, meronta, atau berlutut di hadapanku.
Setelah lama kudiamkan, dia menangis. Seluruh mata
pengunjung restaurant bergeser ke arah kami. Ini air mata pertamanya yang
pernah kulihat, bertahun-tahun ia tak pernah menangis di hadapanku. Apakah ini
juga bagian dari kebohongan?
“Sudahlah, Kevin. Aku bukan gadis tolol yang bisa
kaupermainkan lagi. Jauh-jauh dari pandanganku, atau perlu menghilanglah dari
muka bumi ini!”
“Aku akan menghilang tanpa kau minta, Kesha.”
“Baguslah, sadar diri!”
“Dan, tidak akan pernah kembali.”
“Itu lebih bagus, selamanya kalau perlu!”
“Iya, selamanya.”
Dia mengulang kata ‘selamanya’ dengan tatapan yang bodoh
disertai mata yang sembab. Aku tak ingin membuang-buang waktuku. Aku membayar ice cream dengan uangku sendiri,
meninggalkan Kevin yang masih menggigil karena perkataanku.
Mampus kau! Seruku dalam hati. Aku tertawa senang. Aku berhasil
menyakitinya. Aku tak menyesal berpisah dengannya. Oh, Tuhan, jadi ini rasanya
bahagia?
Sempurna!
***
Tak ada lagi komunikasi dengan Kevin. Aku tak pernah mau
tahu lagi kabarnya. Telingaku tak ingin lagi mendengar namanya.
Aku menjalani hari-hari
seperti biasa. Aku bahkan berprestasi dalam banyak hal, tak peduli pada masa
lalu yang sempat membayangiku selama ini. Tapi, aku memang tak mampu
menyangkal, wajah Kevin masih saja hadir dalam malam-malam sepi ketika aku
sedang mendengar lagu favorite kita dulu. Have
I Told You Lately That I Love You, Rod Stewart selalu pandai membawakan
lagu ini dengan suara yang mendayu-dayu namun menggemaskan. Memang benar,
sebuah lagu mampu melempar seseorang kembali ke masa lalunya, dan aku selalu
mengalami hal itu, lagi dan lagi.
Entah mengapa, hari-hariku memang terasa lebih sepi. Aku sering
iri melihat teman-temanku berjalan dengan kekasihnya, dan aku hanya berjalan
sendirian. Yaaaaah, belajar mandiri, itulah dua kata yang membuatku bertahan
sampai saat ini. Kevin, dulu, adalah pria yang baik, namun setelah mengenal
wanita jalang itu, dia berubah drastis. Aku membencinya dan sepertinya
perasaanku padanya berangsur-angsur mulai hilang.
Siang ini, aku sudah bersiap-siap ke kampus. Belum sempat
membuka pintu kamar, ponselku berdering nyaring.
Aku menatap ke layar ponsel, nomor tak dikenal. Sebenarnya,
aku tak ingin mengangkat panggilan tersebut, tapi entah mengapa, rasanya
panggilan tersebut sangat penting.
“Halo…”
“Halo… Kesha?”
Terdengar suara wanita yang rasa-rasanya akrab di
telinga.
“Ini, Tante, Nak.”
“Tante?”
“Ibunya Kevin.”
Deg. Aku lemas, rasanya sulit untuk membuka suara. Aku berusaha
keras untuk menahan emosiku dan perasaanku yang mulai tak stabil.
“Iya, kenapa, Tante?”
“Mau nemenin Tante sebentar enggak?”
“Ke mana?”
“Ke suatu tempat, mungkin kamu suka?”
Aku terdiam agak lama, berpikir dengan keras. Namun satu
kata meluncur dari bibirku, tanpa kuduga. “Oke.”
***
“Sebenernya Tante udah lama pengen ajak kamu ke sana.”
Aku masih bingung, tak mengerti arah tujuan. Di mobil aku
hanya mengangguk-angguk pelan, tak mengerti pada pembicaraannya yang ngalor-ngidul.
“Kita mau kemana, Tante?”
“Nanti, kamu juga tahu sendiri.”
Jawaban tersebut sama sekali tak membuat diriku puas. Kami
melewati padang ilalang dan hamparan rumput yang menghijau. Tanah yang terlihat
cukup gersang namun untungnya cuaca hari itu tak begitu panas. Beberapa menit
kemudian, Ibu Kevin menggunakan kaca mata hitam dan kerundung berwarna hitam. Ia
mengeluarkan kembang tujuh rupa. Aku bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
Mobil berhenti, dan rasa ingin tahuku semakin
menjadi-jadi. Kami berjalan melewati tanah yang gersang tadi, dan sejauh mata
memandang ada beberapa nisan yang terlihat. Aku baru tahu di tempat seindah
ini ada pemakaman.
Beliau menuntunku terus berjalan, kemudian berhenti di
sebuah nisan. Aku tak memerhatikan dengan jelas tulisan di nisan itu, aku hanya
menatap wajah wanita yang sejak tadi genggaman tangannya semakin erat di
jemariku.
Wanita itu sedikit berjongkok, aku ikut berjongkok.
“Sudah dua bulan, Kesha.”
Aku masih diam, dan mendengarkan, karena mungkin saja
mendengarkan bisa memberiku jawaban.
“Dia pergi, sesuai permintaanmu.”
Dia siapa? Aku tak mengerti, aku masih menyimak perkataan
wanita ini dengan santun dan tegas.
“Kevin sakit, dia selalu sembunyikan penyakitnya darimu.”
Oh, jadi Kevin sakit? Dirawat di mana dia sekarang? Baguslah,
itu karma untuknya, karena telah menyakitiku.
“Kamu dan Kevin sudah pacaran beberapa tahun.”
Duh, sialan, mengungkit masa lalu. Masa yang tak pernah
ingin kuingat. Sialan.
“Kevin tahu kamu sangat mencintainya, makanya ia tak
ingin kepergiannya menyakitimu.”
Aku terdiam. Masih tak paham.
“Ia menyewa seorang wanita, dan merencanakan segalanya
yang rumit, membuat semuanya seakan-akan terjadi secara tidak sengaja.”
Merencanakan?
“Kevin mencium wanita itu dan kamu lewat di depan
mobilnya. Momentum yang pas. Semuanya terjadi sesuai rencananya.”
Tatapanku tajam menyapu wajah wanita itu, matanya tak
terlalu terlihat, kacamata hitam memburamkan tatapannya.
“Kevin sengaja menyakitimu agar kamu tak pernah menyesal
ketika dia pergi. Itulah wujud yang sebenarnya, bahwa dia tak ingin melihatmu
terluka. Dia masih mencintaimu.”
Omong kosong! Teriakku dalam hati.
“Dia baik sekali, Kesha. Dan kau tak menyadari bahwa
pertemuan terakhir kalian adalah saat kau memakinya.”
Jutaan panah seperti melesat ke jantungku. Aku tak bisa
bernapas.
Aku menatap nisan itu. Ada namanya. Nama pria yang selama
ini sempat memutarbalikkan duniaku. Kevin.
“Perjuangannya memang tidak sia-sia, kau tidak terlihat
terluka dan menyesal. Kevin berhasil menahan air matamu, Kesha. Lihatlah, kamu
tidak menangis.”
Aku terdiam, tak bisa berkomentar banyak. Bibirku terlalu
kelu. Aku tak menyangka perjuangan Kevin begitu besar untukku.
Napasku masih tercekat, dan sekarang aku tahu rasanya
menangis.
Air mata.
Created by : http://dwitasarii.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komentar:
cerpennya bagus.
saya juga udah ngefolback blog kamu. thanks ya udah follow :)
wah bagus nih ceritanya sangat menarik,,,makasih sudah berbagi salam kenal sahabat
@Andi:Iya sama-sama:)
@bc: Oke:)
galau yak dik?
minum baygon :p
@rivai: gamau ah baygon gaenak :p
Posting Komentar